Blogger templates

Jumat, 01 April 2016

Syekh Ali As-Shabuni || Ulama Saudi Dibuat Kelimpungan


Syekh Muhammad Ali As-Shobuni lahir di kota Aleppo, Suriah pada tahun 1930 M. Beliau seorang ulama asy'ariyah dan menjadi salah satu dosen di Kuliyah Syariah Mekah al-Mukarramah. Ayahnya, Syekh Jamil adalah salah satu pembesar ulama. Dari tangan ayahnya inilah, As-Shabuni mendapatkan ilmu, selain dari ulama-ulama yang lain. Beliau berhasil menghafalkan al-Quran dalam usia muda, saat berada di bangku tsanawiyah.

Saat usia kecil, Syaikh Ali As-Shabuni belajar di sekolah negeri. Setekah mendapatkan syahadah ibtidaiyah, beliau meneruskan ke tingkat tsanawiyah jurusan bisnis dan melakoninya selama satu tahun, akibat ketidaksetujuannya akan kecenderungan ilmiyah dimana di sana diajarkan perdagangan dengan sistem ribawi yang terjadi di bank. Beliau lalu pindak ke madrasah tsanawiyah swasta yang menekankan pendidikan syar'iyah. Di madrasah yang bernama Al-Khusuriyah ini, beliau mendapatkan seluruh pendidikan syar'iyah, seperti tafsir, fiqh, hadits dan lain-lain, disamping pelajaran umum sesuai dengan kurikulum departemen pendidikan. Beliau lulus dari madrasah ini pada tahun 1949.

Selanjutnya beliau belajar di Al-Azhar Kairo dengan beasiswa dari Kementerian Wakaf Suriah, hingga mendapat sertifikat Kuliah Syari'ah pada tahun 1952 dengan nilai istimewa. Kemudian melanjutkan ke pendidikan takhasus di Al-Azhar hingga memperoleh syahadah jurusan peradilan agama pada tahun 1954. Syahadah ini setara dengan sertifikat Ph.D, dimana saat itu sertifikat ini adalah sertifikat tertinggi. 

Sekembali dari Mesir beliau diangat sebagai professor budaya Islam di sekolah-sekolah tinggi di Aleppo dan istiqmah mengajar sejak tahun 1955 hingga 1962. Selanjutnya beliau mengajar di jurusan Syariah dan Studi Islam, dan fakultas tarbiyah di Universitas Mekah, sebagai dosen pinjaman dari Departemen Pendidikan Suriah. Di sini, beliau mengajar hampir selama 30 tahun, dimana dari tangan beliau telah dicetak para professor besar. 

Universitas Ummul Qura Madinah lalu menunjuk beliau sebagai kepala pada Pusat Penelitian Ilmiyah Dan Warisan Islam, karena melihat kesungguhan ilmiyah yang dimiliki beliau. Beliau diberi tugas sebagai editor pada sebagian warisan pustaka Islam. Dalam pekerjaan ini beliau sukses mentahqiq salah satu kitab tafsir terbesar yaitu kitab "Ma'anil Qur'an" yang dikarang oleh Al-Imam Abi Ja'far An-Nuhas. Naskah kitab yang hanya ada satu di dunia ini beliau tahqiq dengan referensi dari berbagai kitab tafsir, lughat, hadits dan lainnya, hingga berhasil dicetak kembali dan diterbitkan setebal 6 jilid.

Setelah itu, beliau bekerja di Rabithah Alam Islami sebagai mustasyar selama beberapa tahun.

Hasil karya beliau sangat banyak baik dalam bidang ilmu-ilmu syar'iyah maupun ilmu arabiyah. Sebagian kitab beliau telah berhasil diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Diantara karya beliau adalah: Shafwah At-Tafasir, Mukhtashar tafsir Ibnu Katsir, Rawa'i al-Bayan, Fiqh al-Ibadah di Dhu' al-Kitab wa as-sunnah, fiqhul Mu'amalat, al-hadyun Nabawi as-Shahih fi shalah at-Tarawih dan lain-lain.

Diluar kesibukan ilmiyah yang begitu padat, beliau masih menyempatkan diri mengajar di Masjidil Haram, Madinah, dan Jedah, di samping mengisi acara halaqah ilmiyah di televisi. 

Karena beliau seorang yang beraqidah asy'ariyah, banyak ulama Saudi yang memberikan kritikan dan bantahan, seperti Syaikh Safar Al-Hawali, Syekh Abdul Aziz bin Baz, Al-Albani, Abu Bakar Zaid dan lain-lain. Kitab beliau yang paling banyak mendapat bantahan dari para ulama wahabi itu adalah Shofwah at-Tafasir. 

Pemerintah Saudi Arabia melarang penyebaran kitab Shafwah at-Tafasir, hingga pada tahun 1998 dengan surat keputusan Kementerian Haji Dan Waqaf memerintahkan para pengurus waqaf, masjid dan lain-lain untuk membekukan kitab ini dan tidak memberikannya kepada masyarakat, hingga kesalahan –menurut anggapan mereka—yang ada di dalamnya dibenarkan.

Syekh Ahmad al-Fathoni


Syekh Ahmad bin Muhammad Zain bin Mustafa bin Muhammad bin Muhammad Zainal Abidin, lebih dikenal dengan nama Syekh Ahmad al-Fathani, dilahirkan pada tanggal 10 April 1856 M/5 Sya‘ban 1271 H di Jambu, Jerim, Pattani, Thailand Selatan. Ayah dan ibunya merupakan keturunan pembesar Daulah Fathani Darussalam. Sedangkan kakeknya, Syekh Mustafa al-Fathani, yang bergelar ‘Datuk Panglima Kaya Fathani‘ adalah seorang hakim yang bertugas menentukan sah dan tidaknya pelantikan seorang raja dan pembesar kerajaan di Daulah Fathani Darussalam, Thailand Selatan. Ia lahir dalam kondisi negerinya tertindas dan terjajah, sehingga memaksa dia dan orang tuanya untuk pindah ke Mekah, Saudi Arabia.
Sebelum hijrah ke Mekah, Syekh Ahmad al-Fathani pernah belajar ilmu agama kepada ayahnya, Muhammad Zain dan seorang ulama Daulah Fathani Darussalam, Syekh Abdul Kadir Mustafa. Pada tahun 1860, ia hijrah ke Mekah, mengikuti ayah dan ibunya, untuk menuntut ilmu agama. Di Mekah, ia memiliki kesempatan untuk belajar agama kepada beberapa ulama, baik ulama Melayu ataupun ulama Arab yang bermukim di kota ini. Dengan demikian, ia tumbuh dan besar dalam lingkungan dan budaya yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Selama di Mekah, ia menunjukkan diri sebagai anak yang rajin belajar. Ia dikenal memiliki kemampuan menghafal yang luar biasa. Dalam usianya yang masih sangat belia, ia telah mampu mengajar ilmu tata bahasa Arab (nahwu dan sharaf).
Syekh Ahmad al-Fathani kemudian pergi ke Baitul Maqdis untuk menuntut ilmu kedokteran/ilmu tabib. Menurut riwayat, beliaulah orang Melayu pertama yang mahir ilmu tabib dan mendapat pendidikan khusus di bidang tersebut. Pendidikan ketabiban yang dikuasainya telah membedakan dirinya dengan tabib-tabib tradisional saat itu. Di kota Baitul Maqdis inilah ia mendapat inspirasi untuk menulis bukunya yang berjudul “Thayyib al-Ihsan fi Thib al-Insan”. Setelah itu, ia kembali ke Mekah untuk meneruskan belajar kepada guru-guru Pattani, seperti Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani. Beberapa tahun kemudian, ia pergi menuntut ilmu ke Mesir; negeri yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan keislaman dengan kemegahan Universitas Al-Azharnya. Di negeri ini, ia tercatat sebagai pelajar pertama dari Asia Tenggara. Sekembalinya dari Mesir, ia kemudian mengajar di Mekah selama kurang lebih 15 tahun.
Menurut riwayat, selama belajar di Mesir, Syekh Ahmad Al-Fathani telah mulai menu­lis buku-buku tentang ilmu tata bahasa Arab. Karya-karyanya kemudian dikenal oleh banyak orang sehingga ia dianggap sebagai salah satu pakar bahasa Arab di kota Mekah. Kepakarannya dalam bahasa Arab didengar oleh raja Mekah, sehingga ia kemudian diangkat menjadi ahli bahasa kerajaan (Arab Saudi: sekarang) di bawah pemerintahan Turki Usmani. Ia termasuk salah satu ulama Melayu yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan menulis lebih dari 100 buku. Karya-karyanya ditulis dalam berbagai bahasa; bahasa Arab 32 buah, bahasa Melayu 22 buah, dan di bidang pentashihan 36 buah. Ia wafat di Mina ketika sedang melaksanakan ibadah haji pada tanggal 11 Zulhijah 1325 H/14 Januari 1908 M dan dimakamkan dekat makam Umul Mukminin ‘Siti Khadijah‘ di Ma‘la, Mekah, Saudi Arabia.
Pemikiran
Tidak disangkal bahwa adanya jaringan ulama Nusantara yang terbangun sejak abad 17 telah menunjang penyebaran keilmuan dan keintelektualan Islam di Melayu. Ulama-ulama tersebut ber­peran besar dalam menunjang kemajuan peradaban Islam. Salah seorang di antara ulama tersebut adalah Syekh Ahmad Al Fathani.
Menurut Mohd. Shaghir Abdullah (sejarawan sekaligus peneliti manuskrip Melayu), peran serta Syekh Ahmad al-Fathani dalam me­nyebar­kan berbagai disiplin ilmu pengetahuan di daratan Melayu tidak dapat dianggap kecil. Sebab, selain menulis ratusan buku dalam berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan yang telah tersebar di berbagai wilayah Nusantara, ia juga telah berjasa dalam mendidik banyak ulama, baik ulama yang berasal dari Indonesia, Pattani (Thailand Selatan), maupun dari Malaysia. Di antaranya adalah KH. Muhammad Khalil (Madura, Indonesia), Syekh Basyuni Imran Maharaja Imam Sambas (Kalimantan Barat, Indonesia), Syekh Muhammad Mahfuz at-Tarmasi (Pacitan, Jawa Timur, Indonesia), Syekh Abdul Hamid (Asahan, Sumatera Barat, Indonesia), Tok Kelaba al-Fathani (Pattani, Thailand Selatan), Sultan Zainal Abidin III (Trengganu, Malaysia), Abdullah bin Musa (Mufti dan Hakim Johor, Malaysia), dan masih banyak lagi di antara mereka yang belum disebut di sini. 
Menurut riwayat, Syekh Ahmad al-Fathani menguasai tidak kurang dari sepuluh bidang ilmu pengetahuan, di antaranya: pemikiran Islam dan Melayu, politik, pemerintahan, ekonomi, teknologi, pendidikan, pengobatan, kemasyarakatan, sejarah, geografi, sosiologi, kaligrafi, dan pertanian. Dari sekian disiplin ilmu pengetahuan yang dikuasainya tersebut, pemikiran tentang pengo­batan yang dituangkan dalam karyanya ‘Thayyib al-Ihsan fi Thib al-Insan‘ merupakan topik yang sangat menarik untuk dibicarakan. Sebab, metode pengobatan penyakit dengan menggunakan berbagai jenis tumbuhan dan tanaman (herbal) yang banyak diperbin­cang­kan belakangan ini, sebenarnya telah dikupas secara mendalam oleh ulama asal Pattani ini lebih dari 100 tahun yang lalu. Sayangnya, sejarah tentang metode pengobatan yang ditulisnya tidak banyak diketahui oleh generasi sekarang.
Dalam karyanya ‘Thayyib al-Ihsan fi Thib al-Insan‘, Syekh Ahmad al-Fathani mengemu­kakan beberapa pendapatnya tentang metode pengobatan di dunia Melayu. Ia menyarankan kepada raja-raja Melayu agar menyediakan dana untuk penelitian tentang berbagai spesis tumbuh-tumbuhan yang ada di wilayah kerajaan mereka. Hal ini karena banyak tumbuhan dan tanaman yang dapat dijadikan obat untuk mengobati berbagai macam penyakit. Menurutnya, bangsa Eropa, Cina, India, dan bangsa-bangsa lain telah lama menggunakan tumbuh-tumbuhan yang ada di wilayah kerajaan Melayu sebagai bahan obat-obatan.
Menurut Syekh Ahmad al-Fathani, ilmu pengobatan merupakan ilmu yang mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana cara menjaga kese­ha­tan dan mengobati segala penya­kit. Dengan demikian, tidak dapat dinafikan bahwa pengobatan dengan metode apapun memiliki kelebihan tersendiri. Berkaitan dengan hal ini, ia mengutip hadis Nabi saw. yang mengatakan bahwa ada tiga perkara yang tidak boleh ditinggalkan oleh orang yang berakal: pertama, ilmu yang menjadi bekal hidup di akherat; kedua, pekerjaan yang menopang kehidupan dunia dan agama; ketiga, ilmu pengobatan (kedokteran) yang berguna untuk menghilangkan segala penyakit.
Melalui karyanya ‘Thayyib al-Ihsan fi Thibb al Insan‘, Syekh Ahmad al-Fathani juga me­ma­parkan sebab terjadinya suatu penyakit. Misalnya, seseorang yang menahan sendawa dapat menyebabkan batuk, badan menggigil, dan sakit jantung. Orang yang menahan dari menguap dapat mengakibatkan badan menggigil, suara parau, dan kulit mengkerut. Orang yang menahan bersin dapat menyebabkan sakit kepala, mata kabur, dan tuli. Orang yang selalu dalam keadaan lapar dapat mengakibatkan tuli, mata kabur dan kepala pusing. Ia menganjurkan agar setiap orang menyegerakan makan pagi dan makan malam karena dapat memelihara kesehatan mata. Selain itu, ia juga menganjurkan setiap orang agar sesering mungkin untuk minum air hangat karena dapat menghindarkan dari batuk.
Pemikiran Syekh Ahmad al-Fathani yang tertuang dalam karyanya “Thayyib al Ihsan fi Thibb al Insan‘, merupakan hasil pembelajarannya dari metode pengobatan yang ditulis oleh Ibnu Sina dan metode pengobatan yang berkembang pada zamannya. Karya “Al Qanun fi al- Tibb” atau “Norma-norma Kedokteran” adalah sumbangan terbesar yang diberikan Ibnu Sina. Al Qanun boleh dikata sebagai ensiklopedi pengobatan yang sangat lengkap. Buku ini menelaah ulang pengetahuan kedokteran. Ibnu Sina tidak hanya menggabungkan pengetahuan yang telah ada, tapi juga menciptakan karya-karya orisinal yang meliputi beberapa pengobatan umum, obat-obatan (760 macam), penyakit-penyakit mulai dari kepala hingga kaki, khususnya patologi (ilmu tentang penyakit) dan farma­kopeia (farmakope). Dengan demikian, tampak di sini bahwa Syekh Ahmad al-Fathani berusaha untuk menggabungkan antara metode pengobatan ala Ibnu Sina dan pengobatan tradisional yang menggunakan spesis tumbuh-tumbuhan (herbal) yang ada di wilayah kerajaan Melayu.
Karya-karya
Sebagai seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, Syekh Ahmad al-Fathani telah melahirkan lebih dari 160 judul buku, namun hanya sebagian kecil dari karyanya yang dapat dibaca hingga saat ini, di an­ta­ranya:
a. Karya-karya Syekh Ahmad al-Fathani yang berbahasa Arab, yaitu:
  1. Al-Fatawa al-Fathaniyah ( jilid 1). Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1996.
  2. Al-Fatawa al-Fathaniyah (jilid 2). Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1997.
  3. Faridat al-Fara‘id fi ‘Ilm al-‘Aqa‘id. Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1996.
  4. Jumanat al-Tauhid.
  5. Munjiyatul ‘Awam li Manhaj al-Huda min al-Dzalam.
  6. Minhaj al-Salam.
  7. Hadiqat al-Azhar war Rayahin (jilid 1). Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1992.
  8. Thayyib al-Ihsan Fi Thibbil Insan.
  9. Tashil Nayl al-Amani fi Syarh al-‘Awamil al-Jurjani.
  10. Mir‘at al-A‘aji.
  11. Al-Tsimar al-Syahiyah fima la Yastaghni al-Mubtadi‘un ‘anhu min al-Masa‘il al-Nahwiyah.
  12. Anbiyat al-Asma‘ wa al-Fa‘al.
  13. Aqidat al-Najin.
  14. Badru al-Tamam.
  15. Bahjat al-Mubtadi‘in wa Farhat al-Mujtahidin.
  16. Bisyarat al-‘Amilin wa Nadharat al-Ghafilin.
  17. Ghayat al-Idrak fi al-‘Amal bi Kurat al-Aflak.
  18. Al-Ibriz al-Sirf fi Fann al-Sarf.
  19. ‘Ilmu al-Isti‘arah.
  20. ‘Ilmu al-Sarf.
  21. Manzumat al-‘Awamil.
  22. Matn al-Madkhal fi ‘Ilmu al-Sarf.
  23. Nazm Nur al-An‘am.
  24. Al-Risalah al-Fahaniyah fi ‘Ilm an-Nahwi.
  25. Risalah fi al-‘Amal bi Rub‘ al-Da‘irah.
  26. Sabil al-Salam fi Syarh Hidayat al-‘Awamm.
  27. Tadrij al-Sibyan ila Tasywiq al-Bayan.
  28. Tahqiq Matn al-Sakhawi fi ‘Ilm al-Hisab.
  29. Tahqiq Wasilat al-Tullab li Ma‘rifat A‘mal al-Layl wa al-Nahar bi Tariq al-Hisab.
  30. Tasrih al-Ghawamil fi Syarh al-‘Awamil.
  31. ‘Unqud al-La‘ali‘.
  32. ‘Unwan al-Falah wa ‘Unfuwan al-Salah.
  33. Luqtat al-‘Ajlan fima Tamassu ilayhi Hajat al-Insan.
b. Karya-karya Syekh Ahmad al-Fathani yang berbahasa Melayu, yaitu:
  1. Badai‘uz Zuhur:  Segugus Bunga Nan Indah (2 jilid). Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1997.
  2. Tarikh Turki ‘Uthmaniyah.
  3. ‘Iqd al-Juma‘an.
  4. Kamus Arab-Melayu dan Bunyi Perkataan Melayu.
  5. Tarikh Lampung Pecah.
c. Karya-karya Tashih Syekh Ahmad Al-Fathani, yaitu:
  1. Mathla‘ al-Badrain wa Majma‘ al-Bahrain.
  2. Al-Kaukab  al-Durriy fi al-Nur al-Muhammadiy.
  3. Ad-Durr al-Basim fi Ashhabi al-Kahfi wa al-Raqim.
  4. Kitabu al-Farqadain wa Jawahir al-‘Iqdain.
  5. Bidayat al-Hidayah.
Penghargaan
Syekh Ahmad al-Fathani adalah salah satu ulama besar Melayu yang bermukim di Mekah, Saudi Arabia, yang dianggap sebagai pemikir terbesar dunia Melayu hingga saat ini. Ia pernah diberi kehormatan oleh pemerintah Turki untuk menjadi anggota tim ahli bahasa Arab dan Melayu pada tahun 1884 di Mekah.

Syaikh Nuruddin Marbu Banjar || Al-Azhar As-Tsani





Saat menerangkan beberapa kata sapaan, Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitab Hasyiyah-nya menjelaskan, “syaikh” sebagai kata bermakna orang tua yang berumur empat puluh tahun lebih. Namun demikian, jangan dulu heran bila orang banyak telah menyebut tokoh kita ini dengan sebutan “syaikh” sejak muda sekali, bahkan sebelum berusia empat puluh tahun.

Apa pasal? Yang dikatakan orang banyak itu selaras belaka dengan apa yang disebutkan dalam sebuah maqalah, al-‘alimu syaikhun wa in kana shaghiran, wal-jahilu shaghirun wa in kana syaikhan – seorang yang alim adalah seorang “syaikh” sekalipun masih kecil/muda usia, dan seorang yang bodoh tetap sebagai seorang yang kecil sekalipun ia seorang syaikh (tua usianya).

Tak mengherankan, tatkala sebuah penerbit di Mesir hendak mencetak ulang dan menerbitkan kitab manaqib Imam Syafi’i yang terbilang sangat lengkap, karya Ath-Thabari, Syaikh Nuruddin-lah yang didaulat untuk menyampaikan pengantar dalam kitab tersebut. Padahal, saat itu usianya masih berkepala tiga.

Hijrah ke Kota Suci
Ulama yang pada tahun 2010 ini genap berusia setengah abad ini lahir di Banjar, Kalimantan Selatan, pada 1 September 1960. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Pada mulanya ia belajar Al-Quran kepada neneknya, bibinya, dan kakaknya yang sulung. Tahun 1974, ia sekeluarga hijrah ke Makkah. Di kota suci ini ia meneruskan pendidikannya di Madrasah Shaulatiyah. Saat lulus di tahun 1982, ia mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.

Di samping belajar secara formal, ia juga menyempatkan diri mengikuti majelis pengajian yang bersifat non-formal di Masjidil Haram dan di kediaman para guru, terutama Al-Faqih Ad-Darrakah Syaikh Ismail Utsman Az-Zayn Al-Yamani. Syaikh Ismail Az-Zayn adalah seorang ulama yang dikenal luas kefaqihannya. Sebagai seorang guru, Syaikh Ismail tak pernah jemu untuk bersama-sama berkumpul dengan sekian banyak anak muridnya.

Syaikh Nuruddin banyak menimba ilmu dari Syaikh Ismail. Ia amat akrab dengan gurunya yang satu ini, selalu melazimi majelis-majelisnya, dalam maupun luar kota Makkah, dan sering pula bersama-sama dengan gurunya itu pada banyak kesempatan, misalnya untuk menziarahi makam Rasulullah SAW di kota Madinah. Syaikh Nuruddin senantiasa berhubungan dengan gurunya ini hingga sang guru wafat, pada 20 Dzulhijjah 1414, selepas shalat Subuh di Masjidil Haram.

Saat berziarah bersama Syaikh Ismail Az-Zayn, yang disebut-sebut sebagai guru yang amat mewarnai corak pemikirannya itu, biasanya ia mulai berangkat dari Makkah setelah shalat Subuh berjama’ah di Masjidil Haram pada hari Kamis dan kembali pulang ke Makkah seusai shalat Jum’at keesokan harinya. 

Selain menghadiri majelis-majelis Syaikh Ismail, ia sering pula menemani gurunya itu pada berbagai kesempatan dakwah. Ia meluangkan banyak waktunya untuk berkhidmat kepada Syaikh Ismail. 

Karena kedekatan dan khidmatnya kepada sang guru, ia pun kemudian dapat mendekati para ulama lainnya dan menimba ilmu dari mereka semua. Di antara mereka, sebut saja, Syaikhul ‘Ulama Sayyid Hasan Masysyath, yang juga sering bersama-sama dengan Syaikh Ismail Az-Zayn, yang wafatnya tepat di Hari Raya ‘Idul Fithri 1399 H/…. M. Selain itu juga kepada Syaikhul Hadits wa Musniduddunya Syaikh Yasin Al-Fadani. Kepadanya, Syaikh Nurudiin mengambil banyak riwayat dan ijazah, terutama riwayat hadits musalsal (hadits yang periwayatannya terus bersambung dari yang mengijazahkan riwayat sampai Rasulullah SAW) dan juga sanad berbagai kitab, termasuk kitab-kitab sanad yang ditulis Syaikh Yasin sendiri. Syaikh Yasin wafat pada malam Jum’at 28 Dzulqa’dah 1410 H/…. M dan dimakamkan di Pemakaman Ma’la, Makkah.

Selain Sayyid Hasan Masysyath dan Syaikh Yasin Al-Fadani, banyak lagi ulama-ulama besar yang ia datangi untuk menimba ilmu, seperti Syaikh Abdullah Sa’id Al-Lahji, Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili Al-Anfenani, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Syaikh Sa’id Al-Bakistani, Syaikh Zakaria Bila.

Semasa tinggal di kota Makkah itu, ia telah sering mengajar para pelajar asal Indonesia. Di antara kitab-kitab yang diajarkannya pada masa itu adalah Qatrunnada, Fathul Mu’in, ‘Umdatus Salik, Bidayatul Hidayah.

Al-Azhar Ats-Tsani
Tahun 1983, selepas dari Shaulatiyah, Makkah, Syaikh Nuruddin melanjutkan pelajarannya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, dan masuk Fakultas Syari’ah sampai mendapat gelar sarjana muda. Kemudian, pada tahun 1990 ia meneruskan pendidikannya di Ma’had ‘Ali li Ad-Dirasat Al-Islamiyah di Zamalik, masih di Kairo, Mesir, hingga memperoleh gelar di tingkat dirasat ‘ulya, atau sarjana penuh perguruan tinggi.

Sebagaimana sewaktu di Makkah, perburuan ilmunya kepada para ulama setempat terus berlanjut. Selama di Mesir, ia selalu memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu dari para ulama besar yang menetap di sana atau yang sempat berkunjung beberapa lama di Mesir. Di antara para ulama yang menjadi guru-gurunya saat ia tinggal di Mesir adalah Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (mantan mufti Mesir), Syaikh Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi (pakar hadits), Syaikh Muntashir Al-Kattani Al-Maghribi (ulama besar asal Maroko), Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi (ulama besar Mesir yang amat berpengaruh), Syaikh Ali Jadul Haq (mantan syaikhul Azhar), Syaikh Muhammad Al-Ghazali (dai, pemikir, ulama kontemporer, dan tokoh pergerakan di Mesir). Masih banyak lagi guru-gurunya yang lain, yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh ulama puncak di negeri tempat mereka menetap.

Usai menamatkan pendidikan formalnya, ia semakin memfokuskan diri dalam mencurahkan ilmunya kepada ratusan pelajar Asia, khususnya Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Thailand, yang tengah menimba ilmu di Universitas Al-Azhar. 

Majelis kajian yang ia asuh di sana sebenarnya telah berdiri sejak tahun 1987, namanya Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin. Majelis itu dibuka di asrama pelajar Johor, asrama pelajar Pulau Pinang, dewan rumah Kedah, dewan rumah Kelantan, serta di Masjid Jami’ Al-Fath di sebuah kawasan bernama Madinah Nashr.

Saat itu, karena begitu banyaknya mahasiswa Al-Azhar yang belajar kepadanya, ia pun kemudian digelari Al-Azhar Ats-Tsani, “Al-Azhar Kedua”. Gelar itu merupakan ungkapan tulus dari para mahasiswa Universitas Al-Azhar sebagai penghormatan atas keluasan dan kedalaman ilmunya.

Di samping mengajar, saat itu ia sudah mulai aktif menulis buku-buku agama berbahasa Arab dan Melayu. Sebagian kitab karyanya yang berbahasa Arab, saat ini sudah tersebar luas di Timur Tengah dan di sebagian negara Asia.

Sanad yang Bersambung
Di antara keistimewaan Syaikh Nuruddin, ia mewarisi metodologi pengajian yang berdasarkan ketersambungan sanad atau mata rantai keilmuan. Misalnya, dalam mempelajari hadits, hadits yang ia pelajari sampai silsilah periwayatannya hingga kepada Rasulullah SAW. Demikian pula saat ia mempelajari kitab-kitabnya para ulama, riwayat pembacaan kitab-kitab tersebut sampai silsilahnya kepada pengarang asal kitab, seperti Imam Syafi’i, Imam Suyuthi, Imam Nawawi, dan lain-lain. Di sinilah tampak kemurnian dan keberkahan ilmu yang berpindah dari generasi ke generasi. 

Untuk mencapai prestasi keilmuan seperti itu, tentu dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Wajar saja memang bagi orang yang bersungguh-sungguh dalam mencapainya, “Ini terkait dengan masalah tradisi para ulama salaf ketika hendak memberi syarah terhadap sebuah hadits. Kita harus tahu siapa orang yang mensyarah hadits, atau hasyiyah (catatan kaki). Sebab banyak orang bisa memahami (arti harfiah) sebuah hadits tapi tidak bisa mengungkapkan dan tidak tepat memaknainya. 

Inilah min fawaidi at-talaqqi, sebagian manfaat ber-talaqqi (berada di bawah bimbingan langsung seorang syaikh), supaya kita memaknai hadits itu secara tepat. Walau tidak dijamin seratus persen, insya Allah, dengan bertalaqqi pemahaman kita tidak akan lepas dari maksud dan tujuan penulis. Jadi bisa kita katakan al-haqiqah ala ma’na shahih (pengertian sebenarnya dengan makna yang benar),” kata Syaikh Nuruddin sekali waktu saat mengomentari pentingnya masalah sanad dalam ilmu.

Mencetak Tunas Ulama
Tahun 1998 ia dipercaya mengajar di Ma’had Tarbiyah Islamiyah (MTI), Derang, Kedah, yang didirikan almarhum Ustadz Niamat bin Yusuf pada tahun 1980. Di Kedah, kehadirannya bagaikan hujan yang menyuburkan bumi yang telah lama kehausan akan siramannya. Ia pun kemudian menetap di MTI Derang hingga tahun 2002. Di sana ia menjadi tenaga pengajar utama dan tokoh ulama muda yang disegani.

Selain mengajar di MTI, ia juga aktif mengadakan majelis-majelis ilmu dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid, sekolah-sekolah, perayaan-perayaan keagamaan, bahkan dakwahnya telah bergema di hotel-hotel, lingkungan pejabat kerajaan (Kedah, Pulau Pinang, Perak, Kelantan, dan Terangganu).

Setiap kali majelisnya digelar, pesertanya terus bertambah. Mereka adalah para penimba ilmu yang berhasrat menimba ilmu atau menerima siraman ruhani darinya.

Setelah empat tahun menabur bakti di bumi Kedah, ia pulang ke tempat asal kelahirannya, Kalimantan Selatan. Pada tahun 2004, ia pun mendirikan Pesantren Az-Zayn Al-Makki Al-’Ali Littafaqquh Fiddin di daerah Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Kata “Az-Zayn Al-Makki” pada nama pesantrennya merupakan nisbah kepada gurunya, Syaikh Ismail Utsman Az-Zayn Al-Makki, guru besarnya sewaktu ia menetap di kota Makkah.

Di sinilah kini ia menetap dan mencetak tunas-tunas muda penerus perjuangan para ulama pewaris Nabi. Sungguh beruntung negeri ini memiliki seorang ulama seperti Syaikh Muhammad Nuruddin Marbu Al-Banjari ini.

Ia adalah gambaran sosok ulama yang istiqamah pada setiap apa yang dikerjakannya. Semangatnya luar biasa, tegas dalam prinsip, berdisiplin tinggi, berwibawa, dan selalu bersemangat dalam menyampaikan ilmu.

Keistimewaan pribadinya juga tergambar dari rona wajahnya yang selalu berbinar ceria. Tak tampak ada rasa letih di wajahnya, meski kini waktu demi waktu ia habiskan untuk mengajar di banyak tempat, baik di pesantrennya sendiri maupun majelis-majelis rutin yang ia bina lainnya. Melihat jadwal mengajarnya saja, dalam dan luar negeri, tak sanggup rasanya seseorang terus berada bersamanya.

Tindak-tanduknya menunjukkan pribadi yang terpelihara oleh nilai-nilai adab yang mulia. Murid-muridnya pun memandangnya bukan hanya sebagai guru yang mencurahkan ilmu kepada mereka, tapi juga menuntun mereka dalam kemuliaan adab saat belajar. Dalam hal ini, Syaikh Nuruddin berpesan kepada mereka, “Akhlaq juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang kita pelajari. Dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas tafaqquh (paham syari’at agama) tapi tak berminat untuk beramal.”

Di samping mengajar, sampai sekarang ia juga terus aktif membuahkan karya, baik mengarang maupun men-tahqiq (menelaah) kitab. Karyanya telah mencapai lebih dari 100 buku. Beberapa karyanya kini banyak dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi, termasuk kitabnya, Qawa’id Fiqhiyyah, yang kini digunakan sebagai salah satu rujukan di Fakultas Syariah, di beberapa universitas di Malaysia. Begitu pula kaset-kaset, CD-CD MP3, VCD ceramah-ceramah dari majelisnya, risalah-risalah singkatnya. Hebatnya lagi, semua keuntungan hasil penjualan tidak diambil olehnya, tapi untuk kemanfaatan anak-anak muridnya saja.
 

Blogger news

Blogroll

About