KH. ZUBAIR UMAR AL-JAILANI (1908-1990): CORONG ISLAM NUSANTARA DI
JANTUNG KOTA MEKAH DAN KAIRO
Kiai Haji Zubair Umar al-Jaelani adalah ulama-intelektual Nahdlatul Ulama
(NU). Ahli ilmu falak ini pernah menduduki jabatan Rektor IAIN Wali Songo
Semarang dan anggota Syuriyah PBNU ketika KH. Abdul Wahab Chasbullah menjabat
sebagai Rais Am. Karya santri KH. Hasyim Asy’ari ini, kitab
al-Khulashatu-l-Wafiyah, hingga kini menjadi rujukan utama dalam kajian ilmu
falak dan astronomi di Indonesia maupun di kampus-kampus terkenal di dunia
Islam.
Pada usia delapan tahun, beliau belajar pada Sekolah Diniyah di Madrasatul
Ulum, yang berada dalam komplek Mesjid Besar Bojonegoro, selama lima tahun
(1916-1921). Setelah itu nyantri di beberapa pesantren terkenal menimba ilmu
sebagai santri kelana. Awalnya di Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, selama
empat tahun (1921-1925) di bawah asuhan KH. Dimyathi Abdullah (wafat 1934).
Waktu itu Pesantren Tremas menjadi kiblat santri kelana karena pamor pesantren
dari abad 19 ini sudah demikian terkenal hingga ke Mekah.
Dari Pesantren Tremas, Kiai Zubair lalu berguru pada Kiai Amir Idris (wafat
1938) di Pesantren Simbang Kulon, Pekalongan, Jawa Tengah, pada tahun
1925-1926. Beliau lalu mengembara ke Jawa Timur, tepatnya ke Pesantren
Tebuireng Jombang dan berguru kurang lebih selama tiga tahun (1926-1929) pada
KH. Hasyim Asy’ari. Selama dalam proses belajar di Pesantren Tebuireng, ilmu
falak ternyata menjadi ilmu favorit beliau.
Tidak lama kemudian beliau bersama sang istri dikirim oleh ayah mertuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekah al-Mukarramah dan berguru kepada beberapa ulama terkenal selama tahun 1930-1935.
Tidak lama kemudian beliau bersama sang istri dikirim oleh ayah mertuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekah al-Mukarramah dan berguru kepada beberapa ulama terkenal selama tahun 1930-1935.
Harapan Kiai Zubair untuk mendalami ilmu falak di Kota Suci Mekah ternyata
kandas. Sejumlah ulama yang menguji beliau dalam ilmu ini ternyata kualitasnya
masih di bawah beliau! Akhirnya mereka-lah justru yang belajar kepada Kiai
Zubair Umar. Hal serupa juga beliau temui waktu menuntut ilmu di Kota Suci
Madinah: tidak juga mendapatkan seorang ulama falak yang diharapkan. Beliau
disarankan untuk pergi mencari ulama dimaksud ke Damaskus, Syiria, dan ke
Palestina, namun hasilnya tetap sama. Di sana ada yang menyarankan beliau
berguru ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dimana ada seorang ulama falak
yang mumpuni. Waktu itu rektornya dipegang oleh Syekh Musthafa al-Maraghi.
Di Al-Azhar Kiai Zubair bertemu dengan Syekh Umar Hamdan al-Mahrasi (wafat
1949), seorang ulama multi talenta yang punya banyak murid – baik di Mekah
maupun di Kairo –yang kemudian menjadi ulama kenamaan di Indonesia. Keahlian
beliau dalam ilmu falak kemudian diakui oleh para ulama Al-Azhar, sehingga
beliau diangkat sebagai dosen ilmu falak selama tahun 1931-1935.
Selama di Al-Azhar Kiai Zubair menyusun naskah bukunya dalam ilmu falak –
yang kemudian terbit di Indonesia sekitar tahun 1937 dengan judul
al-Khulashatu-l-Wafiyah. Selama mengajar para mahasiswa Al-Azhar, Kiai Zubair Umar
tidak menggunakan buku rujukan atau maraji yang wajib dibaca mahasiswa. Oleh
karena itu para mahasiswa tekun dan rajin mencatat ceramah-ceramah beliau dalam
kelas. Catatan-catatan tersebut beliau kumpulkan lalu dibawa ke Indonesia, yang
ternyata memperkaya konsep buku yang sedang beliau tulis.
Dari Kairo, Kiai Zubair Umar kembali ke Indonesia di tahun 1935, dan menetap
di rumah keluarga istrinya di Suruh, Salatiga. Beberapa tahun kemudian usai
Revolusi Kemerdekaan beliau mendirikan Pesantren Luhur Salatiga yang kemudian
menjadi IKIP NU, lalu berubah menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Setelah
itu berangsur-angsur berubah menjadi STAIN Salatiga (kini IAIN Salatiga).
Selain sibuk menggelar beberapa pengajian di tengah masyarakat, Kiai Zuber juga
pernah diminta mengajar di Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng Jombang –
meski tidak berlangsung lama karena sibuk mengurus pesantren dan tugas yang
beliau emban di tengah masyarakat.
Tugas-tugas keilmuan dan kemasyarakatan ternyata sudah banyak menunggu
beliau. Pertama sebagai penghulu pada Pengadilan Negeri Salatiga, tahun
1945-1947, penghulu Kabupaten Semarang di Salatiga tahun 1947-1951, Koordinator
Urusan Agama Kerasidenan Pati, tahun 1954-1956, Ketua Mahkamah Islam Tinggi
yang berkedudukan di Surakarta tahun 1962-1970, serta menjadi dosen lalu
diangkat jadi Rektor IAIN Walisongo Semarang sejak 5 Mei 1970 hingga 1972. KH.
Zubair Umar juga pernah diminta selaku promotor oleh Universitas Nahdlatul
Ulama (UNNU) Surakarta (didirikan oleh PBNU di tahun 1958) untuk
menganugerahkan gelar doktor kehormatan (honoris causa) kepada dua orang
sarjana asal Universitas Al-Azhar Kairo pada tanggal 15 Desember 1968. Keduanya
adalah Prof. Dr. Muadz dan Prof. Dr. Bashrawi. Ini mengingat reputasi beliau
sebagai dosen yang pernah mengajar di kampus bergengsi di Mesir itu.
Beliau menjadi Ketua NU cabang Kabupaten Semarang tahun 1945, Ketua Masyumi
cabang Salatiga, komandan Barisan Kiai-Barisan Sabilillah Kabupaten Semarang di
masa Revolusi Kemerdekaan mengusir penjajahan Belanda, Ketua Syuriah Partai
Masyumi cabang Kabupaten Semarang dan kota Salatiga tahun 1946, Rais Syuriah
Partai NU cabang Kabupaten Semarang dan kota Salatiga tahun 1952-1956, Rais
Syuriah NU wilayah Propinsi Jawa Tengah tahun 1956-1970, lalu anggota Syuriyah
PBNU di era kepemimpinan Rais Am KH. Abdul Wahab Chasbullah periode 1967-1971.
Pada tahun 1971 Kiai Zubair menerima hibah tanah dari pemerintah seluas enam
hektar untuk pembangunan pesantren. Pesantren ini kemudian berdiri dengan nama
Pondok Pesantren Joko Tingkir di tahun 1977, karena lokasinya yang kebetulan
berada di Kecamatan Tingkir Lor, Salatiga. Namun, sepeninggal Kiai Zubair,
Pesantren Joko Tingkir tidak lagi menggelar pengajian, dan kini hanya tinggal
petilasan saja.
KH. Zubair Umar al-Jailani wafat pada tanggal 10 Desember 1990/24 Jumadil
Awal 1411 H dan dimakamkan di dalam komplek pemakaman Kauman, di belakang
Masjid Raya Baitul Atiq. Delapan tahun setelah beliau wafat, area pemakaman
tersebut terkena dampak banjir yang sangat deras, sehingga menimbulkan
kerusakan pada makam. Kemudian dilakukan pembenahan makam. Saat makam CORONG
ISLAM NUSANTARA ini dibongkar, jenazah beliau ditemukan masih utuh dalam posisi
yang sama seperti waktu dikuburkan. Padahal papan yang mengelilingi makam
beliau sudah hancur. Setelah dilakukan pembenahan dan rehabilitasi, jenazah
beliau dimasukkan kembali tanpa dimandikan ulang …
Allah yarhamhu….
Source: Ust. Ahmad Baso
0 komentar:
Posting Komentar