Drs. KH. Ahmad Masduqi Mahfudz dilahirkan di Desa Saripan
(Syarifan) Jepara Jawa Tengah pada 1 Juli 1935. Di desa tersebut, terdapat
sebuah makam kuno yang banyak dikenal orang dengan Mbah Jenggolo.
Alkisah, berkat karomah dari Mbah Jenggolo ini, dulu ketika
baru ada radio dan televisi, siapa saja yang membawa ke desa ini pasti gila.
Penyakit gila ini baru akan sembuh kalau kedua alat elektronik dikeluarkan dari
Saripan. Keadaan seperti ini masih bisa ditemui semasa Kyai Masduqi masih
kecil. Namun perlahan-perlahan seiring dengan perubahan zaman, karomah ini
berangsur surut hingga hilang sama sekali. Melihat lingkungannya yang seperti
itu, ditambah dengan lingkungan keluarga yang taat dan fanatik terhadap agama
serta memiliki semangat juang yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan
menyebarkan agama Allah.
Nasab dari Ayah
Jika dilihat dari jalur keturunan Ayah, tidak dapat
diketahui secara terperinci tetapi yang jelas seluruh keluarga beliau adalah
termasuk orang-orang yang gigih berjuang dalam mensyiarkan agama Allah. Jalur
keturunan ayah ini terputus hingga kakek beliau saja. Kakek beliau ini termasuk
tokoh agama yang disegani dalam lingkungan masyarakat mereka. Perjuangannya
tidak hanya terhadap orang awam saja, melainkan kepada seluruh lapisan
masyarakat bahkan yang jahat sekalipun. Beliau bahkan dengan gigih menaklukkan
orang-orang jahat yang banyak berkeliaran saat itu. Hingga beliau mampu merubah
pola tingkah laku mereka itu menjadi orang yang taat menjalankan agama Allah.
Semangat jihad, fanatik dan ketaatan menjalankan agama serta
keberanian membela kebenaran ini secara terus-menerus ditempa dan ditekankan
oleh Kyai Machfudz, ayah Kyai Masduqi. Maka tidak heran bila sifat-sifat
tersebut sangat melekat pada diri Kyai Masduqi dalam menegakkan agama Allah.
Nasab dari Ibu
Bila ditelusuri dari garis keturunan ibu, dapat dilihat dari
Syaikh Abdullah al-Asyik bin Muhammad. Beliau adalah seorang Jogoboyo dari
kerajaan Mataram. Alkisah, salah satu keampuhan beliau adalah setiap ada
marabahaya yang akan mengancam kerajaan, beliau memukul bedug untuk
mengingatkan penduduk cukup dari rumahnya. Suara bedug ini terdengar ke
seantero kerajaan Mataram. Pada makamnya yang terletak di Tayu Pati, tertulis
“Makom niki dipun bangun Bagus Salman bongso jin” (makam ini dibangun Bagus
Salman bangsa Jin).
Dari Syaikh Abdullah al-Asyik inilah menurunkan nenek KH.
Achmad Masduqi Machfudz, yaitu Nyai Taslimah. Di kalangan masyarakat, Nyai
Taslimah sebagai seorang pewaris perjuangan Syaikh Abdullah al-Asyik bin
Muhammad, dikenal sebagai seorang penyebar agama. Di tangannya tidak sedikit
orang yang diislamkan. Mereka yang asalnya belum beragama dengan baik akhirnya
menjadi santri Nyai Taslimah.
Dari pernikahannya dengan Kyai Asmo Dul, Nyai Taslimah
dikaruniai dua orang putri, yaitu Chafshoh dan Masfufah. Beliau juga mengangkat
seorang anak angkat yang bernama Suyuti. Putri beliau yang pertama, Chafsoh,
dipersunting oleh Kyai Machfudz, putra dari Bapak Arso Husein dengan Ibu Saumi.
Dari pernikahan ini, keduanya dikarunia 14 putra-putri. Mereka ini adalah:
- Muainamah (Alm.)
- Achmad Fahrurrazi (Alm.)
- Khadijah (Alm.)
- Achmad Masduqi (Alm.)
- Sa’adah (Jepara)
- Achmad Said (Alm.)
- Sofiyah (Alm.)
- Achmad Shohib (Alm.)
- Achmad Zahid (Malang)
- Ahmed Mas’udi (Jakarta)
- Achmad Zahri (Alm.)
- Achmad Maskuri (Alm.)
- Aslihah (Malang)
- Achmad Mujab (Jepara)
Dari keempat belas putra-putri Nyai Chafsoh ini, tujuh
diantaranya meninggal dunia ketika masih kecil dan remaja. Kyai Masduqi
merupakan putra keempat dan merupakan putra sulung yang hidup.
Kehidupan Keluarga
KH. Achmad Masduqi Machfudz dikenal sebagai orang yang cukup
sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Corak kehidupan keluarga yang beliau
bangun sama sekali jauh dari citra kemewahan. Kesederhanaan yang dicitrakan
Kyai Machfudz sangat membias pada keluarga Kyai Masduqi. Terlebih sejak kecil,
Kyai Masduqi sangat gigih dalam menekuni bidang keilmuan terutama ilmu agama.
Salah satu prinsip hidup beliau adalah: “Kalau kita sudah meraih berbagai macam
ilmu terlebih ilmu agama, maka kebahagiaan yang akan kita capai tidak saja kebahagiaan
akhirat, akan tetapi kebahagiaan duniapun akan teraih.”
Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Chasinah putri dari KH.
Chamzawi Umar pada 7 Juli 1957 dalam usia 22 tahun, beliau dikaruniau 9 orang
anak, yaitu:
- Mushoddaqul Umam, S.Pd. Ia lahir di Tarakan Kalimantan Timur, tanggal 21 Juli 1958. Saat ini di kediamannya di Jl. Danau Kerinci IV, E15, disamping kesibukan sehari-hari menjadi Wakil Kepala Sekolah SMU 10 dan pengajar pada MA Al-Maarif Singosari, S1 bahasa Inggris yang pernah mondok di Pesantren Roudhatut Tolibin Rembang ini, juga merintis majlis ta’lim untuk orang tua dan siswa SD, SMP, SMU dan mahasiswa.
- Muhammad Luthfillah, SE. Ia dilahirkan di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 28 Oktober 1959. Sarjana Ekonomi dari UNIBRAW yang sebelumnya menempuh pendidikan di Pesantren Roudlotul Tolibin Rembang ini, saat ini menjadi pengurus PP. Pagar Nusa dan anggota DPRD Jatim dari fraksi FKB.
- dr. Moch. Shobachun Niam SpB-KBD. Ia dilahirkan di Samarinda Kalimantan Timur pada 25 Agustus 1961, sambil berdinas di RSU Polmas Sulawesi, alumnus Pesantren Roudlotut Tolibin Rembang ini juga menjadi pengurus wilayah NU Sulawesi Selatan.
- M. Taqiyyuddin Alawiy, dilahirkan di Malang pada 8 April 1963. Setelah menyelesaikan studi di Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, ia meneruskan studi di Fakultas Tehnik UNISMA Malang. Saat ini, disamping menjadi dosen di Institusi yang sama, juga menjadi Rais Syuriah MWC Kedung Kandang Malang.
- Dra. Roudlotul Hasanah, dilahirkan di Malang pada 8 Maret 1965. Setelah mondok di Pesantren Tambakberas Jombang, ia memperoleh gelar Sarjana Bahasa Inggris di IAIN Malang (sekarang UIIS). Dalam kesehariaannya mengajar di MTSN Sepanjang Gondalegi Malang, juga menjadi salah seorang tenaga pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang.
- Isyroqunnadjah, M.Ag., dilahirkan di Malang pada 18 Februari 1967. Ia menyelesaikan studi S2 di PPS IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini alumnus Pesantren Lirboyo Kediri ini, disamping menjadi Ketua Program Bahasa Arab pada UIIS, juga menjadi wakil sekretaris Rabithah Ma’ahidil Islam, Cabang Malang.
- Dra. Badiatus Shidqoh, dilahirkan di Malang pada 11 April 1968. Saat ini alumnus Pesantren Tambakberas Jombang ini menjadi tenaga pengajar pada STIE Malangkucecwara Malang.
- Fauchatul Fithriyyah. S.Ag. dilahirkan di Malang pada 25 Agustus 1970. Ia memperoleh gelar sarjana di STAIN Malang (sekarang UIIS) setelah sebelumnya mondok di PP. Maslakul Huda Kajen Pati Jateng. Kesibukannya yaitu mengelola beberapa TPQ binaan Pesantren Nurul Huda, juga menjadi tenaga pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang.
- Achmad Shampton Masduqi, SHI. Ia dilahirkan di Malang pada 23 April 1972. Selepas SMP ia mondok di Pesantren Lirboyo Kediri dan beberapa pesantren di sekitar Kediri. Memperoleh gelar sarjana di STAIN Malang (sekarang UIIS), saat ini menjadi khodim Pesantren Nurul Huda.
Sebelum memasuki dunia perkuliahan seluruh putra dan putri
beliau tanpa kecuali diharuskan mengenyam pendidikan di pesantren. Ini
merupakan prinsip yang ditanamkan Kyai Masduqi kepada para putra-putrinya. Dari
pengalaman mengaji di pesantren ini, meskipun background pendidikan putra-putri
beliau beragam, mereka mampu menjalankan amanah dakwah di tengah-tengah
masyarakat.
Pendidikan Formal
KH. Achmad Masduqi Machfudz terlahir di tengah-tengah
keluarga religius yang taat dan fanatik terhadap agama Islam. Sehingga sejak
kecil beliau sudah dihiasi dengan tingkah laku, sikap dan pandangan hidup ala
santri. Karena itu pula, Kyai Machfudz orangtuanya, tidak menghendaki Kyai
Masduqi kecil untuk bersekolah di sekolah umum, cukup di sekolah agama saja.
Tetapi larangan ini tidak mematahkan semangat Kyai Masduqi
kecil untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang tidak terbatas
hanya di bidang agama saja. Dengan semangat tinggi, Kyai Masduqi menimba ilmu
di pesantren dan sekolah umum dengan biaya sendiri dengan menyempatkan
berkeliling menjual sabun dan kebutuhan yang lain tanpa sepengetahuan kyai atau
orangtuanya sendiri.
Adapun pendidikan formal yang telah beliau selesaikan antara
lain:
- Sekolah Rakyat di Jepara (1942-1948)
- SMP di Jepara (1950-1953)
- Sekolah Guru Hakim Agama/SGHA di Yogyakarta (1953-1957)
- IAIN Sunan Ampel Malang (1962-1966)
- IAIN Sunan Ampel Malang program doktoral (1975-1977).
Ketekunan, keuletan dan semangat juang yang tinggi, Kyai
Masduqi akhirnya mampu meraih berbagai macam ilmu pengetahuan baik di bidang
agama maupun pengetahuan umum.
Pendidikan non Formal
KH. Achmad Masduqi Mahfudz sejak berusia 5 tahun tepatnya
pada tahun 1939 sudah disekolahkan di madrasah ibtidaiyah di kampungnya yang
pada waktu itu dikenal dengan istilah “Sekolah Arab”, karena di sini
pelajarannya semua berbahasa Arab. Beliau belajar di sekolah ini selama kurang
lebih lima tahun yaitu dari tahun 1939-1944. Di sinilah beliau mulai
mempelajari dasar-dasar berbahasa Arab dan agama Islam.
Kemudian setelah beliau menyelesaikan sekolahnya dan
mempunyai dasar yang cukup, beliau meneruskan belajarnya di Pondok Pesantren
Jepara. Di sini beliau belajar kurang lebih selama 8 tahun, yakni dari tahun
1945 - 1953, dan menyelesaikan Madrasah Tsanawiyah pondok selama 3 tahun.
Pondok Pesantren Jepara ini diasuh oleh Kyai Abdul Qadir, di
sini beliau belajar ilmu-ilmu alat yakni nahwu dan sharaf, fiqih, tauhid dan
lain-lain. Karena beliau belajar di sini sudah cukup lama, maka tidak heran
jika ilmu-ilmu tersebut sedikit banyak telah beliau kuasai.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di pondok pesantren
Jepara, beliau masih merasa belum cukup ilmu pengetahuan agamanya, dan akhirnya
beliau pergi untuk belajar di Pondok Pesantren Krapyak.
Kisah Saat Mondok di Krapyak
“Aku heran dengan cara Mbah Ali mendidikku. Pada mulanya aku
disuruh sorogan Ta’limul Muta’allim. Belum sampai khatam sudah disuruh ganti
Taqrib. Baru selesai bab haji disuruh ganti kitab lain lagi. Begitu seterusnya
aku gonta-ganti kitab tanpa satu pun mengkhatamkannya. Rasanya manfaat yang
kuperoleh bukan terutama dari kitab yang kubaca, tapi karena sering memandangi
wajah Mbah Ali saja.”
Kiyai A. Masduqi Machfudh (Pengasuh PPSSNH Malang), Rais
Syuriyah PBNU, menceritakan bahwa Mbah Ali memiliki maziyah (keistimewaan) bisa
mentransfer ilmu tanpa mengajar secara verbal. Pada waktu pertamakali datang ke
Krapyak –mungkin sekitar tahun 50/60-an, Santri Masduqi diajak mengikat janji
oleh Mbah Ali: “Kalau kamu sanggup tinggal di pondok nggak pulang-pulang sampai
tiga tahun penuh, kujamin kamu akan jadi lebih alim ketimbang yang sudah mondok
15 tahun tapi bolak-balik pulang”, begitu akadnya.
Santri Masduqi benar-benar melaksanakan akad itu. Pada akhir
tahun ketiga, barulah ia pamit pulang. Sebelum mengijinkan, Mbah Ali meraih
tangan Santri Masduqi dan membawanya ke meja makan: “Ayo makan bareng aku”,
kata beliau.
Tapi ketika Santri Masduqi hendak meraih centong nasi, Mbah
Ali melarangnya: “Kamu duduk saja!”
Lalu tanpa terduga beliau mengambilkan nasi untuk santrinya
itu, meladeninya dengan sayur dan lauk-pauk hingga minuman sesudah makan,
seolah Mbah Ali-lah yang menjadi khadam.
“Sejak saat itu”, kisah Pakdhe Masduqi, “tak ada kitab yang
sulit bagiku. Setiap ada lafadz yang tak kuketahui maknanya, seperti ada yang
membisiki telingaku, member tahu artinya…”
Aku percaya pada Pakdhe Masduqi, walaupun barangkali beliau
menceritakan ini sekedar untuk membesarkan hatiku ketika beliau ta’ziyah
meninggalnya ayahku. Mungkin juga aku percaya karena terdorong ketidakpahamanku
akan metode pendidikan Mbah Ali. Setiap santri seolah diperlakukan khusus,
dengan cara yang berbeda dari lainnya. Sepupuku yang sekamar denganku tidak
cukup disuruh menulis saja. Ia diperintahkan ngeblad tulisan kitab. Santri lain
disuruh mengumpulkan maqolah-maqolah dari berbagai kitab. Seorang santri baru
malah diperlakukan dengan “sangat demokratis”.
“Kamu sorogan ya, Nak”, kata Mbah Ali kepada anak yang baru
lulus SD itu.
“Sorogan itu apa, Mbah?”
“Setiap habis Shubuh kamu baca kitab di depanku”, Mbah Ali
sabar.
“Kitab itu apa, Mbah?” Kuper nian anak itu.
“Kitab itu ya buku.”
“Yang dibaca buku apa?”
“Terserah kamu…”
Pagi itu, di tengah membaca kitabku di hadapan Mbah Ali yang
dirubung santri-santri, aku kaget oleh suara lantang anak baru di sebelahku:
“Pulau Buton menghasilkan aspal…!”
Kulirik “kitab” yang dipegangnya: PELAJARAN GEOGRAFI KELAS I
SMP! (Terong Gosong, digagas oleh mantan juru bicara Presiden RI era
Abdurrahman Wahid, KH. Yahya Cholil Staquf).
Berawal dari Mushalla, Merintis
Pesantren Nurul Huda
Sejak tahun 1957 beliau mengajar di berbagai sekolah di
Kalimantan, seperti di Tenggarong, Samarinda dan Tarakan.
Tahun 1964 melanjutkan studi di IAIN Sunan Ampel Malang,
sekaligus sebagai dosen Tadribul Qiraah (Bimbingan Membaca Kitab), bahasa Arab,
akhlak dan tasawuf. Di tengah kesibukan sebagai dosen dan pengasun pesantren,
beliau “melayani” pengajian di berbagai masjid di daerah Malang dan Jawa Timur
terutama yang sulit dijangkau oleh kebanyakan dai, mubaligh dan kyai.
Pemahamannya terhadap kitab gundul sangat dalam, baik ketika
dalam pembahasan masalah di forum Majlis al-Bahtsi wa al-Muhadlarah
ad-Diniyyah, kodifikasi hukum Islam, bahtsul masail, maupun tanya jawab hukum
Islam pada majalah Aula. Sehingga jabatan Katib Syuriyah selama 15 tahun, Rois
II Syuriyah sejak 1985, dan Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur hingga 2007 sangat
tepat baginya.
Pesantren Nurul Huda yang dirintisnya bermula hanya sebuah
mushalla kecil yang berada di Mergosono gang 3B. Mushalla yang sebelumnya sepi
oleh aktivitas ibadah mulai digalakkan semenjak ia berdomisili di situ ketika
meneruskan pendidikannya di IAIN Sunan Ampel Cabang Malang.
Karena keahliannya dalam bidang agama, banyak mahasiswa yang
nyantri kepadanya dan kemudian terus ia semakin dikenal dan semakin banyak
orang belajar agama sampai akhirnya mushalla kecil tersebut menjadi pesantren
yang sesungguhnya.
Uniknya, dalam pendirian pesantren yang saat ini berlantai 3
itu, KH. Achmad Masduqi Mahfudz belum pernah meminta sokongan dari masyarakat
sedikitpun. Beliau hanya mengandalkan dengan amalan bacaan shalawat sebanyak
10.000 kali. Dengan berkah shalawat itulah beliau memohon kepada Allah untuk
pesantrennya dan putra-putrinya. Keampuhan shalawatnya terbukti dengan
berdirinya Pesantren Nurul Huda yang megah serta kesemua anaknya berhasil lulus
sarjana.
Ulama yang Mumpuni Ilmu Agama dan
Ilmu Dunia
Beliau merupakan salah satu ulama yang mumpuni dan dalam
memberikan materi tidak monoton tapi dari satu materi bisa menjabarkan luas.
Jamaah pun menyimak dengan puas dan semua bisa menerima materi yang
disampaikannya. Karena cara penyampaiannya mengikuti tingkat kemampuan
jamaahnya.
Pengetahuan yang beliau miliki sangat luas tidak saja dalam
masalah ukhrawi tapi juga duniawi, termasuk masalah teknologi, sosial budaya
dlsb.
Di Malang dekade tahun 80/90-an ada beberapa kyai yang
memiliki kesamaan dalam memberikan materi seperti beliau, seperti Kyai Durajak
(KH. Abdurrazaq), Kyai Nabrawi Kasin dan Kyai Mahfudz Blimbing (KH. Mahfudz
Asasi).
Masih ingat jelas, tahun 90-an beliau mengajar di Masjid
Qudsi Malang. Kelihatan beliau nampak letih dan menyampaikan materi kitab
Irsyadul ‘Ibad nampak lelah (mungkin hari itu jadwal beliau sangat padat).
Takmir masjid berinisiatif menukar air putih dengan kopi dan disediakan tegesan
(asbak). Kontan wajah beliau sumringah dan “clinggg...” beliau menyalakan korek
zipponya. Akhirnya beliau menyampaikan materinya dengan semangat dan jamaah
menerimanya dengan suka cita. (Penuturan Ustadz Didik Isnanto).
Kyai yang Teguh Berprinsip
Al-Maghfurlah KH. Achmad Masduqi Mahfudz in Memoriam. Ketika
seorang santri membela kiainya dari berbagai serangan kiri-kanan, apa yang
diharapkan nanti dari doanya?
Dalam Muktamar NU di Solo tahun 2004, KH. Masduqi Mahfudz
diserang anak-anak muda liberal sebagai kiai jumud dan anti-progresif.
Pasalnya, sang kiai kharismatik ini menolak hermeneutika dan Islam liberal
masuk dalam agenda Muktamar.
Saya lalu membela sang kiai dalam forum Muktamar itu. Lalu
saya tuangkan dalam buku “Islam Pascakolonial” di bab 7, pas buku ini terbit di
tahun 2005. Waktu membela beliau itu, doa saya hanya satu: “Ya Allah
mudahkanlah saya membaca khazanah keilmuan pesantren dalam literatur-literatur
bahasa Belanda dari abad 16 hingga abad 20. Semoga, ketika sang kiai bertemu
Sang Khaliqnya, beliau bisa menyampaikan doa saya tersebut ke sana dan didengar
oleh para malaikat,” kenang KH. Ahmad Baso, sang muallif Pesantren Studies.
Isyarat Kewafatan KH. Achmad Masduqi
Machfudz
Gus Ahmad Mundzir menceritakan tentang kesaksiannya di
detik-detik mangkatnya KH. Achmad Masduqi Mahfudz. Saat itu KH. Masduqi sedang
dirawat di RS Saiful Anwar. Beliau berkata dalam keadaan setengah sadar, bahwa
beliau diajak rapat sama Gus Dur.
Kemudian ibu bertanya: “Wonten nopo Bah?” (Ada apa Bah).
Jawab KH. Masduqi: “Aku diajak rapat iki, ambek Gus Dur.
(Saya sekarang diajak rapat sama Gus Dur). Maafkan Abah bila ada salah. Bagi
yang merasa mempunyai hak adami atas Abah, saya dan saudara-saudara bersiap
menanggungnya, sampaikan kepada kami.”
Sebelumnya, dalam kondisi masih sakit, KH. Achmad Masduqi
Mahfudz berkata kepada putranya: “Setelah 7 harinya Mbah Sahal, akan ada
barisan mergosono.” Ternyata barisan mergosono itu adalah mu’azziyin (para
pentakziah).
Akhirnya KH. Achmad Masduqi Machfudz wafat pada hari Sabtu,
tanggal 1 Maret 2014 sekitar pukul 17.27 WIB di Rumash Sakit Saiful Anwar
Malang. Lahu al-Fatihah…
0 komentar:
Posting Komentar