Saat menerangkan beberapa kata sapaan, Syaikh Ibrahim
Al-Bajuri dalam kitab Hasyiyah-nya menjelaskan, “syaikh” sebagai kata bermakna
orang tua yang berumur empat puluh tahun lebih. Namun demikian, jangan dulu
heran bila orang banyak telah menyebut tokoh kita ini dengan sebutan “syaikh”
sejak muda sekali, bahkan sebelum berusia empat puluh tahun.
Apa pasal? Yang dikatakan orang banyak itu selaras belaka
dengan apa yang disebutkan dalam sebuah maqalah, al-‘alimu syaikhun wa in kana
shaghiran, wal-jahilu shaghirun wa in kana syaikhan – seorang yang alim adalah
seorang “syaikh” sekalipun masih kecil/muda usia, dan seorang yang bodoh tetap
sebagai seorang yang kecil sekalipun ia seorang syaikh (tua usianya).
Tak mengherankan, tatkala sebuah penerbit di Mesir hendak
mencetak ulang dan menerbitkan kitab manaqib Imam Syafi’i yang terbilang sangat
lengkap, karya Ath-Thabari, Syaikh Nuruddin-lah yang didaulat untuk
menyampaikan pengantar dalam kitab tersebut. Padahal, saat itu usianya masih
berkepala tiga.
Hijrah ke Kota Suci
Ulama yang pada tahun 2010 ini genap berusia setengah abad
ini lahir di Banjar, Kalimantan Selatan, pada 1 September 1960. Ia anak ketiga
dari tujuh bersaudara.
Pada mulanya ia belajar Al-Quran kepada neneknya, bibinya,
dan kakaknya yang sulung. Tahun 1974, ia sekeluarga hijrah ke Makkah. Di kota
suci ini ia meneruskan pendidikannya di Madrasah Shaulatiyah. Saat lulus di
tahun 1982, ia mendapatkan nilai yang sangat memuaskan.
Di samping belajar secara formal, ia juga menyempatkan diri
mengikuti majelis pengajian yang bersifat non-formal di Masjidil Haram dan di
kediaman para guru, terutama Al-Faqih Ad-Darrakah Syaikh Ismail Utsman Az-Zayn
Al-Yamani. Syaikh Ismail Az-Zayn adalah seorang ulama yang dikenal luas
kefaqihannya. Sebagai seorang guru, Syaikh Ismail tak pernah jemu untuk
bersama-sama berkumpul dengan sekian banyak anak muridnya.
Syaikh Nuruddin banyak menimba ilmu dari Syaikh Ismail. Ia
amat akrab dengan gurunya yang satu ini, selalu melazimi majelis-majelisnya,
dalam maupun luar kota Makkah, dan sering pula bersama-sama dengan gurunya itu
pada banyak kesempatan, misalnya untuk menziarahi makam Rasulullah SAW di kota
Madinah. Syaikh Nuruddin senantiasa berhubungan dengan gurunya ini hingga sang
guru wafat, pada 20 Dzulhijjah 1414, selepas shalat Subuh di Masjidil Haram.
Saat berziarah bersama Syaikh Ismail Az-Zayn, yang
disebut-sebut sebagai guru yang amat mewarnai corak pemikirannya itu, biasanya
ia mulai berangkat dari Makkah setelah shalat Subuh berjama’ah di Masjidil
Haram pada hari Kamis dan kembali pulang ke Makkah seusai shalat Jum’at
keesokan harinya.
Selain menghadiri majelis-majelis Syaikh Ismail, ia sering
pula menemani gurunya itu pada berbagai kesempatan dakwah. Ia meluangkan banyak
waktunya untuk berkhidmat kepada Syaikh Ismail.
Karena kedekatan dan khidmatnya kepada sang guru, ia pun
kemudian dapat mendekati para ulama lainnya dan menimba ilmu dari mereka semua.
Di antara mereka, sebut saja, Syaikhul ‘Ulama Sayyid Hasan Masysyath, yang juga
sering bersama-sama dengan Syaikh Ismail Az-Zayn, yang wafatnya tepat di Hari
Raya ‘Idul Fithri 1399 H/…. M. Selain itu juga kepada Syaikhul Hadits wa Musniduddunya
Syaikh Yasin Al-Fadani. Kepadanya, Syaikh Nurudiin mengambil banyak riwayat dan
ijazah, terutama riwayat hadits musalsal (hadits yang periwayatannya terus
bersambung dari yang mengijazahkan riwayat sampai Rasulullah SAW) dan juga
sanad berbagai kitab, termasuk kitab-kitab sanad yang ditulis Syaikh Yasin
sendiri. Syaikh Yasin wafat pada malam Jum’at 28 Dzulqa’dah 1410 H/…. M dan
dimakamkan di Pemakaman Ma’la, Makkah.
Selain Sayyid Hasan Masysyath dan Syaikh Yasin Al-Fadani,
banyak lagi ulama-ulama besar yang ia datangi untuk menimba ilmu, seperti
Syaikh Abdullah Sa’id Al-Lahji, Syaikh Abdul Karim Banjar, Syaikh Suhaili
Al-Anfenani, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Syaikh Sa’id Al-Bakistani,
Syaikh Zakaria Bila.
Semasa tinggal di kota Makkah itu, ia telah sering mengajar para pelajar asal
Indonesia. Di antara kitab-kitab yang diajarkannya pada masa itu adalah
Qatrunnada, Fathul Mu’in, ‘Umdatus Salik, Bidayatul Hidayah.
Al-Azhar Ats-Tsani
Tahun 1983, selepas dari Shaulatiyah, Makkah, Syaikh
Nuruddin melanjutkan pelajarannya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, dan masuk
Fakultas Syari’ah sampai mendapat gelar sarjana muda. Kemudian, pada tahun 1990
ia meneruskan pendidikannya di Ma’had ‘Ali li Ad-Dirasat Al-Islamiyah di
Zamalik, masih di Kairo, Mesir, hingga memperoleh gelar di tingkat dirasat
‘ulya, atau sarjana penuh perguruan tinggi.
Sebagaimana sewaktu di Makkah, perburuan ilmunya kepada para
ulama setempat terus berlanjut. Selama di Mesir, ia selalu memanfaatkan
waktunya untuk menimba ilmu dari para ulama besar yang menetap di sana atau
yang sempat berkunjung beberapa lama di Mesir. Di antara para ulama yang
menjadi guru-gurunya saat ia tinggal di Mesir adalah Syaikh Hasanain Muhammad
Makhluf (mantan mufti Mesir), Syaikh Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi (pakar
hadits), Syaikh Muntashir Al-Kattani Al-Maghribi (ulama besar asal Maroko),
Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi (ulama besar Mesir yang amat berpengaruh), Syaikh
Ali Jadul Haq (mantan syaikhul Azhar), Syaikh Muhammad Al-Ghazali (dai,
pemikir, ulama kontemporer, dan tokoh pergerakan di Mesir). Masih banyak lagi
guru-gurunya yang lain, yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh ulama puncak di
negeri tempat mereka menetap.
Usai menamatkan pendidikan formalnya, ia semakin memfokuskan
diri dalam mencurahkan ilmunya kepada ratusan pelajar Asia, khususnya Malaysia,
Indonesia, Singapura, dan Thailand, yang tengah menimba ilmu di Universitas
Al-Azhar.
Majelis kajian yang ia asuh di sana sebenarnya telah berdiri
sejak tahun 1987, namanya Majlis Al-Banjari Littafaqquh Fiddin. Majelis itu
dibuka di asrama pelajar Johor, asrama pelajar Pulau Pinang, dewan rumah Kedah,
dewan rumah Kelantan, serta di Masjid Jami’ Al-Fath di sebuah kawasan bernama
Madinah Nashr.
Saat itu, karena begitu banyaknya mahasiswa Al-Azhar yang
belajar kepadanya, ia pun kemudian digelari Al-Azhar Ats-Tsani, “Al-Azhar
Kedua”. Gelar itu merupakan ungkapan tulus dari para mahasiswa Universitas
Al-Azhar sebagai penghormatan atas keluasan dan kedalaman ilmunya.
Di samping mengajar, saat itu ia sudah mulai aktif menulis
buku-buku agama berbahasa Arab dan Melayu. Sebagian kitab karyanya yang
berbahasa Arab, saat ini sudah tersebar luas di Timur Tengah dan di sebagian
negara Asia.
Sanad yang Bersambung
Di antara keistimewaan Syaikh Nuruddin, ia mewarisi metodologi
pengajian yang berdasarkan ketersambungan sanad atau mata rantai keilmuan.
Misalnya, dalam mempelajari hadits, hadits yang ia pelajari sampai silsilah
periwayatannya hingga kepada Rasulullah SAW. Demikian pula saat ia mempelajari
kitab-kitabnya para ulama, riwayat pembacaan kitab-kitab tersebut sampai
silsilahnya kepada pengarang asal kitab, seperti Imam Syafi’i, Imam Suyuthi,
Imam Nawawi, dan lain-lain. Di sinilah tampak kemurnian dan keberkahan ilmu
yang berpindah dari generasi ke generasi.
Untuk mencapai prestasi keilmuan seperti itu, tentu
dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Wajar saja memang bagi orang yang
bersungguh-sungguh dalam mencapainya, “Ini terkait dengan masalah tradisi para
ulama salaf ketika hendak memberi syarah terhadap sebuah hadits. Kita harus
tahu siapa orang yang mensyarah hadits, atau hasyiyah (catatan kaki). Sebab
banyak orang bisa memahami (arti harfiah) sebuah hadits tapi tidak bisa
mengungkapkan dan tidak tepat memaknainya.
Inilah min fawaidi at-talaqqi, sebagian manfaat ber-talaqqi
(berada di bawah bimbingan langsung seorang syaikh), supaya kita memaknai
hadits itu secara tepat. Walau tidak dijamin seratus persen, insya Allah,
dengan bertalaqqi pemahaman kita tidak akan lepas dari maksud dan tujuan
penulis. Jadi bisa kita katakan al-haqiqah ala ma’na shahih (pengertian
sebenarnya dengan makna yang benar),” kata Syaikh Nuruddin sekali waktu saat
mengomentari pentingnya masalah sanad dalam ilmu.
Mencetak Tunas Ulama
Tahun 1998 ia dipercaya mengajar di Ma’had Tarbiyah Islamiyah
(MTI), Derang, Kedah, yang didirikan almarhum Ustadz Niamat bin Yusuf pada
tahun 1980. Di Kedah, kehadirannya bagaikan hujan yang menyuburkan bumi yang
telah lama kehausan akan siramannya. Ia pun kemudian menetap di MTI Derang
hingga tahun 2002. Di sana ia menjadi tenaga pengajar utama dan tokoh ulama
muda yang disegani.
Selain mengajar di MTI, ia juga aktif mengadakan
majelis-majelis ilmu dan ceramah bulanan atau mingguan di masjid-masjid,
sekolah-sekolah, perayaan-perayaan keagamaan, bahkan dakwahnya telah bergema di
hotel-hotel, lingkungan pejabat kerajaan (Kedah, Pulau Pinang, Perak, Kelantan,
dan Terangganu).
Setiap kali majelisnya digelar, pesertanya terus bertambah.
Mereka adalah para penimba ilmu yang berhasrat menimba ilmu atau menerima siraman
ruhani darinya.
Setelah empat tahun menabur bakti di bumi Kedah, ia pulang
ke tempat asal kelahirannya, Kalimantan Selatan. Pada tahun 2004, ia pun
mendirikan Pesantren Az-Zayn Al-Makki Al-’Ali Littafaqquh Fiddin di daerah
Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Kata “Az-Zayn Al-Makki” pada nama pesantrennya
merupakan nisbah kepada gurunya, Syaikh Ismail Utsman Az-Zayn Al-Makki, guru
besarnya sewaktu ia menetap di kota Makkah.
Di sinilah kini ia menetap dan mencetak tunas-tunas muda
penerus perjuangan para ulama pewaris Nabi. Sungguh beruntung negeri ini
memiliki seorang ulama seperti Syaikh Muhammad Nuruddin Marbu Al-Banjari ini.
Ia adalah gambaran sosok ulama yang istiqamah pada setiap
apa yang dikerjakannya. Semangatnya luar biasa, tegas dalam prinsip, berdisiplin
tinggi, berwibawa, dan selalu bersemangat dalam menyampaikan ilmu.
Keistimewaan pribadinya juga tergambar dari rona wajahnya
yang selalu berbinar ceria. Tak tampak ada rasa letih di wajahnya, meski kini
waktu demi waktu ia habiskan untuk mengajar di banyak tempat, baik di
pesantrennya sendiri maupun majelis-majelis rutin yang ia bina lainnya. Melihat
jadwal mengajarnya saja, dalam dan luar negeri, tak sanggup rasanya seseorang
terus berada bersamanya.
Tindak-tanduknya menunjukkan pribadi yang terpelihara oleh
nilai-nilai adab yang mulia. Murid-muridnya pun memandangnya bukan hanya
sebagai guru yang mencurahkan ilmu kepada mereka, tapi juga menuntun mereka
dalam kemuliaan adab saat belajar. Dalam hal ini, Syaikh Nuruddin berpesan
kepada mereka, “Akhlaq juga harus besar sebagaimana besarnya kitab-kitab yang
kita pelajari. Dan beramallah, jangan sampai belajar di kelas tafaqquh (paham
syari’at agama) tapi tak berminat untuk beramal.”
Di samping mengajar, sampai sekarang ia juga terus aktif
membuahkan karya, baik mengarang maupun men-tahqiq (menelaah) kitab. Karyanya
telah mencapai lebih dari 100 buku. Beberapa karyanya kini banyak dijadikan
rujukan di beberapa perguruan tinggi, termasuk kitabnya, Qawa’id Fiqhiyyah,
yang kini digunakan sebagai salah satu rujukan di Fakultas Syariah, di beberapa
universitas di Malaysia. Begitu pula kaset-kaset, CD-CD MP3, VCD
ceramah-ceramah dari majelisnya, risalah-risalah singkatnya. Hebatnya lagi,
semua keuntungan hasil penjualan tidak diambil olehnya, tapi untuk kemanfaatan
anak-anak muridnya saja.